Jumat, 18 November 2011

Posted by Ilham Palasara |
INDUSTRI CITRA
Oleh: Ilham Palasara

“Kebudayaan baru adalah kebudayaan yang membunuh umat manusia Dan pembunuhan itu dilakukan dibalik selimut perdagangan” (Muhammad Iqbal-1936).


Perubahan konstruksi masyarakat yang sedang berlangsung saat ini telah membuat kita kehilangan patokan kebudayaan asli kita (baca:budaya elite), bukan saja karena perubahan ini telah memporak porandakan sistem lama dan menjadikanya sebuah sistem budaya baru yang beracuan pada tingginya tingkat konsumsi budaya itu sendiri(Budaya massa), namun juga karena perubahan yang terjadi pada konstruksi sosial dalam masyarakat kita sendiri berlangsung cukup damai, nyaman tanpa gejolak namun menimbulkan efek yang begitu dalam hingga masyarakat kita tercabut dari kebudayaanya sendiri.

Mereka (baca: Budaya massa) menyebar tidak dengan cara doktrinisasi kaku, pampflet, orasi, ceramah, pidato, penataran dan sebagainya, namun melalui gemerlap hingar bingar dunia pertelevisian, tawaran gaya hidup yang “wah” dan memiliki simbol-simbol tertentu untuk memaknainya. Sejak kapan ini terjadi kita memang tak pernah menyadarinya karena itu tadi, sistem ini masuk kedalam tubuh kita dalam bentuk yang sangat manis.

Sekarang ini tengah terjadi “perang” besar-besaran, semboyan besar-besaran untuk mendewakan kekuatan materi dan eksistensi. Hal ini bukan saja bagaimana cara seseorang untuk menjadi kaya namun juga bagaimana cara seseorang tampil dan dihormati sebagai orang kaya, pokoknya kaya itu enak dan perlu. Dan perang ini akan berlanjut selama “budaya kapitalisme mutakhir (baca:televisi) masih terus mencekoki dan mendoktrin kita secara halus dan damai untuk membangun image akan pentingnya citra, kalau dahulu kita menganggap cerita-cerita yang ada dalam dunia perfilman (sinetron, ftv, layar emas, reality show, dsb) itu hanya sebuah khayalan dan tak mungkin kita refleksikan dalam kehidupan nyata namun kini budaya pertelevisian itulah yang justru real dan nyata dan harus kita contoh dalam menjalani dan menyikapi berbagai persoalan hidup, bagaimana cara sesorang berdiet, bagaimana cara seseorang menghabiskan waktu luang, bagaimana cara seseorang bertingkah laku, bagaimana cara seseorang beragama, bagaimana cara mencium dan menyetubuhi perempuan hingga bagaimana cara seseorang menjadi manusia ala televisi.

Sementara pada level konsumsi, manusia pada tahapan ini (baca: manusia industri citra) tidak lagi mementingkan barang dari segi nilai guna, nilai pakai, atau nilai ekonomis tetapi pada sesuatu barang yang memiliki simbol dan makna tertentu (pencitraan). Disinilah peranan citra menjadi sangat penting yaitu ketika kualitas barang tak lagi dipertanyakan, asal memiliki citra tertentu maka dia akan di agung-agungkan, diberi sesaji bila perlu untuk menjaga eksistensinya. Konsumsi citra ini berjalan seiring melesatnya kemajuan dunia informasi dan komunikasi, dimana informasi bukan lagi sekedar alat atau modal untuk berdagang melainkan menjadi produk perdagangan itu sendiri. Maraknya biro jasa pembuat iklan atau rumah produksi misalnya, manjadi acuan untuk hal ini. Tugas mereka tidak untuk membuat suatu barang melainkan untuk mencitrakan barang dan memberi informasi tentang barang produksi tertentu. Indikasi lain ialah dengan menjamurnya sekolah-sekolah kepribadian yang banyak mengajarkan tata cara bagaimana cara makan soup diatas meja makan ala orang kaya (Table manner), dan ini semua adalah gejala paling mutakhir dalam tubuh Indonesiaku, Indonesiamu, Indonesia kita.

Urusan citra dan pencitraan memang telah menjadi industri paling laris dan menjamur di era kapitalisme mutakhir ini, pentingnya citra menjadi sangat begitu berpengaruh dalam membangun mainset masyarakat kita, ketika olahraga golf menjadi begitu sangat menyehatkan ketimbang lari-lari berkeliling lapangan. Jika ada orang membuka toko baru, kini bukan masalah barang-barang daganganya yang akan di lempar kepasaran agar bisa bersaing dengan toko lain melainkan bagaimana toko itu harus punya desain yang unik, bagus dan mentereng agar bisa menarik para manusia industri citra untuk masuk kedalam toko itu, di Yogya misalnya banyak berdiri kafe-kafe yang menghabiskan biaya puluhan juta untuk membangunya, untuk membuat bagaimana citra kafe tersebut dimata masyarakat, kini mutu dan keawetan barang itu simbol kuno yang telah usang, bahkan tak berguna, sekarang adalah masalah citra, simbol, dan bagai mana cara orang lain menganggap kita eksis dan sama dalam selera (baca:konsumtif).

Demikian halnya dengan dunia pendidikan, disekolah kita diajarkan pentingnya melestarikan adiluhung-nya kebudayaan sendiri, sementara cara mereka (baca: segenap civitas akademika) berpakaian, bertingkah laku, dsb tidak mencerminkan adiluhung-nya budaya sendiri. Para pimpinan sekolah sibuk bagaimana caranya menarik sponsor agar mau membiayai konser-konser musik metal, musik hip-hop, musik jazz atau bahkan bagai mana caranya membangun gedung sekolah mereka sebagus mungkin dengan desain ala eropa atau amerika tanpa pernah memikirkan esensi dari pendidikan sebenarnya. Ini seharusnya menjadi pertanda bagi kita bahwa budaya adiluhung itu hanya dongeng, dongeng yang takkan pernah terjadi dalam era citra-isme saat ini. Lagi-lagi ini adalah nilai citra dimana isi tak begitu penting melainkan bungkus dan tampilan luarlah yang harus penting.

Pada akhirnya kita telah dipaksa secara halusuntuk menjejakkan kaki dalam dunia baru, dimana dalam dunia itu hanya ada satu kebenaran dan pencipta kebenaran itu bukanlah tuhan melainkan media (production house, stasiun televisi, majalah lifestyle, mall, distro, restoran bintang lima, super market, mini market), kita lupa cara memanusiakan manusia, kita lupa cara atau bahkan tidak tahu cara menanam padi, kita lupa siapa asal usul kita. Lantas, tidak adakah yang dapat berperan dalam transisi kebudayaan ini? Tidak ada selama media masih terus menyerukan bahwa kebenaran tunggal hanya milik mereka, tak boleh ada sedikitpun ruang untuk pluralitas dan perbedaan. Lantas, adakah batasan dalam ekspansi kebudayaan kapitalisme mutakhir ini? Langit, langit, langit tingkat tujuh batasanya.[]

0 komentar:

Posting Komentar