Sabtu, 25 Agustus 2012

Posted by Ilham Palasara |
Jangan Gugur, Tetap merimbun dalam semesta
Jangan Gugur, Tetap merimbun dalam semesta
Jangan Gugur, Tetap merimbun dalam semesta
Jangan Gugur, Tetap merimbun dalam semesta
Jangan Gugur, Tetap merimbun dalam semesta
Jangan Gugur, Tetap merimbun dalam semesta
Jangan Gugur, Tetap merimbun dalam semesta

Jangan Padam, Terus menyala dalam gulita
Jangan Padam, Terus menyala dalam gulita
Jangan Padam, Terus menyala dalam gulita
Jangan Padam, Terus menyala dalam gulita
Jangan Padam, Terus menyala dalam gulita
Jangan Padam, Terus menyala dalam gulita
Jangan Padam, Terus menyala dalam gulita

Jangan Patah, tetap tumbuh pada ruasnya
Jangan Patah, tetap tumbuh pada ruasnya
Jangan Patah, tetap tumbuh pada ruasnya
Jangan Patah, tetap tumbuh pada ruasnya
Jangan Patah, tetap tumbuh pada ruasnya
Jangan Patah, tetap tumbuh pada ruasnya
Jangan Patah, tetap tumbuh pada ruasnya 

Pada tujuh musim yang kau beri, aku berdiri
Pada tujuh angin yang kucari, kau memberi
Pada tujuh arah yang kulalui, kita saling memahami
Pada tujuh aku tak menjadi
pada tujuh kau hilang tak kutemui
pada tujuh aku tumbuh
aku menyala
aku tak patah

pada tujuh yang kita geluti, aku lebur jadi setitik debu
pada tujuh yang kita bagi, aku cair dalam satu tarikan nafas
Pada tujuh kita tumbuh
menyala dan tak pernah patah


Jakarta, 21 Agustus 2012









Selasa, 22 November 2011

Posted by Ilham Palasara |
Netralitas yang tak pernah netral
Oleh: Ilham Palasara

Hari ini kita dihadapkan pada persoalan pelik untuk memberi tafsir terhadap segala tingkah laku manusia, atau mungkin jauh sebelum itu persoalan tafsir menafsir telah menjadi polemik yang cukup dipertanyakan bagi sebagian masyarakat khususnya kalangan akademisi. Memang tak mudah untuk memberi tafsir dari sebuah perbuatan, ucapan, bahasa atau bahkan simbol-simbol tertentu yang memang tak bisa lepas dari kehidupan sosial masyarakat. Tak jarang kekeliruan tafsir memungkinkan terjadinya sebuah konflik antar golongan bahkan antar agama, disinilah peranan netralitas dan keorisinalitasan tafsir sangat begitu diperlukan agar tak menjadi suatu kesalah pahaman tadi, lantas bagaimanakah tugas seorang budayawan yang erat kaitanya dengan tugas menafsir ini?

Dalam istilah keilmuan non sains kita tentu akan mengenal istilah “Etno Metodologi”, ialah dimana sebuah tafsiran baru atau paradigma baru yang ditemukan dalam menyikapi sebuah persoalan baik teori maupun fakta atau segala sesuatu yang erat kaitanya dengan tugas tafsir menafsir ini dianggap sebagai penyempurnaan dari penemuan dan tafsir sebelumnya, jadi dapat ditarik kesimpulan bahwa tafsir menafsir tentang bahasa, tingkah laku, simbolisme dsb itu dapat dikatakan benar secara umum bagi setiap kalangan masyarakat, selama acuan yang digunakan dalam kaidah tafsir-menafsir itu masih dalam konteksnya dan tidak memiliki kepentingan tertentu, sebenarnya netralitas dalam sebuah tafsiran itu tentu tak mungkin terjadi, pastilah ada

kepentingan dalam perbuatan yang dilakukan atau perbuatan yang ditafsirkan.
Menafsir dan memberi arti dalam kehidupan sehari-hari memang sudah terbiasa dilakukan manusia meski tanpa disadari, sebagai contoh kecil ialah ketika di naikanya bendera setengah tiang berarti menandakan telah gugurnya seorang pejuang, pahlawan, pembela tanah air saat mengemban tugas. Darimana kita tahu hal ini? Mudji Sutrisno dalam bukunya Cultural Studies mengatakan bahwa tugas tafsir menafsir dapat terjadi keitka kita melakukan perbandingan dan penelitian terhadap kejadian jauh sebelumnya, artinya segala tingkah laku yang kita tafsirkan saat ini bisa saja merupakan kegiatan dan tafsiran yang telah dilakukan oleh orang-orang sebelum kita, lantas bagaimana jika bentuk budaya baru yang harus kita tafsirkan? Bentuk budaya yang notabene belum pernah dilakukan dan ditafsirkan oleh orang-orang sebelum kita? Sembarangankah, atau semau kita sendiri. Tentu saja tidak, disinilah tugas kita sebagai seorang penafsir harus benar-benar dapat memaknai arti dari simbol-simbol yang diungkapkan oleh masyarakat, dengan membuka segala cakrawala yang ada dan terpendam dalam diri masyarakat tersebut, tapi hal ini tidak sepenuhnya benar dan dapat diamini sebab biar bagaimanapun penafsiran yang terjadi dewasa ini jauh dari makna orisinalitas simbol-simbol sesungguhnya. Kita cenderung menafsir sesuai dengan idealsime kita dan pola fikir yang telah lama kita anut, contoh kecil ialah maraknya penggunaan Black Berry (baca:BB) dalam kehidupan sehari-hari kita. Dikalangan orang-orang yang mengamini pemikiran Karl Mark tentu BB merupakan sebuah model kapitalisme baru yang memaksa manusia untuk menghabiskan banyak uang untuk satu kepentingan yaitu foya-foya dan bergaya, sementara pada orang-orang yang mengamini pola fikir anti Karl Mark tentu BB merupakan sebuah inovasi teknologi yang bertujuan untuk memudahkan kehidupan manusia dalam menjalani aktifitasnya. Lantas dimanakah letak ke-orisinalitasan tafsir dari benda BB dan segala macam atributnya? Dapatkah kita menjawabnya?. Yang jelas Posisi netralitas dalam hal tafsir menafsir tentu tidak bisa dilakukan oleh seorang penafsir sebab jika hal ini terjadi maka selesailah sudah tugas seorang penafsir bagi masyarakat .[]